Minggu, 26 Februari 2017

Tantangan bagi Insinyur Otomotif



Indonesia dengan modal potensi Sumber Daya Alam, populasi dan lokasinya yang strategis adalah merupakan modal untuk berkembang menjadi suatu Negara besar, yang tidak dimiliki oleh setiap bangsa atau Negara yang ada di dunia. Dengan modal ini bangsa Indonesia harus lebih percaya diri untuk terus  berkembang , dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam memnproduksi barang dan jasa, tidak hanya menjadi obyek dari bangsa-bangsa lain.
Bangsa yang berkembang dan maju tidak hanya bersandar pada Sumber Daya Alam tetapi juga pada kemampuan menciptakan suatu produk atau nilai tambah dari sumber daya yang ada, termasuk diantaranya sumber daya alam. Salah satu peran penting utk mewujudkan hal tersebut adalah kuatnya peran dari insinyur yang meliputi berbagai disiplin ke ilmuan di bidang teknologi.
Atas dasar itu PII berpendapat bahwa Indonesia harus memperkuat peran dan menyuburkan insinyur  sebagai poros untuk menghadirkan budaya membuat sesuatu. Bila kemampuan telah dimiliki maka para insinyur Indonesia akan segera dapat berkiprah di mana saja belahan bumi ini. Terutama menggarap potensi di negara maju yang saat ini sudah mulai kesulitan menemukan generasi muda yang bersedia menjadi insinyur berkerah biru. Ini adalah peluang bagi bangsa Indonesia untuk lebih berperan karena mayoritas penduduk ada pada usia muda dan produktif, adapun mengenai kemampuan, semangat, dan talenta sudah tidak diragukan lagi.
Untuk mencapai hal yang dimaksud, industri sebagai tempat untuk menyemai kompetensi insinyur harus semakin banyak tersedia, karena industri adalah area dimana para insinyur dapat berkarya, berlatih dan mengembangkan dirinya. Untuk itu pemerintah harus mendorong industri menyediakan fasilitas pelatihan dan juga fasilitas R&D.
Dengan berproduksi, maka insinyur kita akan mampu menyerap ilmu dari principal dan pada akhirnya akan membuat para insinyur Indonesia dapat berperan lebih di negeri sendiri dan juga di tataran global.
Agar dapat memproduksi barang dan jasa maka kinerja industri manufaktur dan khususnya industri otomotif harus dapat segera dipulihkan, dan selanjutnya mendorong investasi baru termasuk untuk membuka fasilitas R&D di Indonesia.
Perkembangan industri otomotif saat ini masih memberikan banyak pekerjaan rumah terkait dengan kemampuan individual, para insinyur Indonesia baru kuat dan menguasai sisi proses produksi sementara untuk proses pengembangan teknologi dan produk kemampuan dan keterlibatannya masih lemah.
Di ASEAN Thailand adalah pusatnya industri otomotif berkat policy dari pemerintah mereka untuk mendorong industrialisasi sehingga banyak aturan-aturan  yang mendukung diciptakan, sehingga banyak perusahaan Jepang membuat fasilitas produksi di sana yang diikuti dengan pembuatan development center yang sangat mendukung pertumbuhan kemampuan kompetensi  insinyur-insinyur Thailand. Yang mempunyai fasilitas R&D di Thailand adalah Toyota, Honda, Nissan, Mitsubishi, Honda Motor. Di Malaysia, sejalan dengan policy pemerintahnya, yang paling berkompeten untuk membangun mobil sendiri adalah Proton. Sementara di Indonesia baru Daihatsu yang membangun fasilitas R&D sendiri.
Ancaman terkait profesi insinyur di bidang otomotif adalah dengan diberlakukannya MEA yang ditengarai akan banyaknya  insinyur-insinyur ASEAN yang akan masuk ke Indonesia terutama dari Thailand, Malaysia dalam waktu dekat, dan bila kita tidak mengejar ketinggalan bukan mustahil insinyur dari Vietnam, bahkan dari Laos atau Kamboja yang akan bekerja di berbagai bidang otomotif dalam negeri.

Tantangan terhadap PII sebagai Wadah Profesi Insinyur



Ditengah penurunan pertumbuhan dan peran industri yang mencemaskan serta menghadapi kondisi persaingan global harus segera dilakukan upaya sistematis untuk meningkatkan daya saing industri manufaktur. Dilihat dari konteks permasalahannya Pemerintah diharapkan hendaknya mampu untuk segera melakukan beberapa langkah konsolidasi seperti : (1) menekan biaya investasi yang meliputi biaya modal, kemudahan perizinan, percepatan penerbitan insentif fiskal dan non fiskal; (2) menekan biaya input yang meliputi kepastian biaya energi, perbaikan peraturan ketenagakerjaan, serta pasokan bahan baku seperti gas; (3) menekan biaya logistik seperti peningkatan efisiensi infrastruktur pelabuhan, biaya handling di pelabuhan, dan keamanan logistik;
Dalam 5 tahun setidaknya harus mampu (4) memanfaatkan pasar dalam negeri sebagai baseload, meredam impor produk ilegal, meningkatkan penggunakan produksi dalam negeri, menegakan peraturan dan pelaksanaan standardisasi produk; (5) memperkuat struktur industri antara lain mendorong investasi produk industri yang masih belum diproduksi, menambah kapasitas produksi terpasang dan meningkatkan kualitas investasi; (6) melakukan diversifikasi produk dan tujuan ekspor; Dan dalam jangka panjang fokus pada (7) membangun kemampuan dan penguasaan teknologi serta R&D industri, meningkatkan produktivitas dan kompetensi tenaga kerja industri.
Dari berbagai hal yang perlu dilaksanakan pemerintah sebagaimana tersebut diatas terdapat banyak hal yang beririsan dengan kompetensi PII sebagai wadah insinyur dan juga sebagai elemen bangsa dan terutama sebagai insan Indonesia yang memilih jalur karir dan kempetensi teknologi/keinsinyuran. Beberapa halnya yang terkait secara langsung diantaranya meliputi masalah-masalah: pengembangan industri barang modal dan komponen pabrik, energy, proyek infrastruktur, peningkatan handling, investasi di industri, R&D, dan peningkatan kompetensi ketenaga kerjaan.

Tantangan Pengembangan Industri Otomotif ke Depan



RRT pasar terbesar dunia dengan penjualan tahun 2014 yang lalu 23,49 juta unit, yang meningkat 6,9 persen dari tahun sebelumnya, ternyata memiliki kapasitas berlebih 16 juta unit, serta tingkat utilitas produksi dibawah 60 % (Fourin Juli 2015). Situasi RRT berpeluang  mengancam pasar domestik. Indonesia pun terjepit oleh India dan Thailand, dua negara produsen besar yang pasar sedang menurun, sehingga kapasitas lebih di kawasan regional cukup menghawatirkan, sementara pasar Indonesia sedang menurun terkena krisis. ASEAN adalah pasar ke-5 terbesar dunia, dan Indonesialah terprospektif, karena hanya Vietnam yang bertumbuh namun pasarnya kecil. Indonesia akan menjadi ajang pertempuran penjualan produk otomotif kawasan ke depan. 
Tantangan pada situasi seperti ini serta pasar yang semakin menuntut, adalah meningkatkan kemampuan R&D dan inovasi desain kendaraan utuh ataupun komponen dengan mengadopsi teknologi mutakhir. Demikian pula tantangan terhadap ketergantungan pada material dan komponen impor, peningkatan tingkat produktivitas, peningkatan kompetensi industri dan tenaga kerja harus dapat segera diatasi. Ketergantungan tersebut serta efek pelemahan Rupiah pastinya memperlambat kesiapan industri  terutama komponen.
Sementara industri komponen lokal mulai kelimpungan tersaingi industri kecil-menengah asing yang masuk. Investasi  harus disyukuri, namun kemampuan nasional di bidang komponen yang dibangun puluhan tahun ternyata perlahan-lahan terancam eksistensinya.
Berbagai negara sadar bahwa industri otomotif penting dikembangkan karena efek gandanya yang besar dalam peningkatan nilai tambah serta upgrading teknologi. Malaysia walaupun hanya berpenduduk sekitar 17 juta menggulirkan Program Mobil Nasional. Thailand, “Detroit Asia” mulai membangun industri otomotifnya pada saat populasi sekitar 45 juta tahun 80’an, saat ini ia telah mampu berproduksi di tahun terbaiknya 2013  sebanyak  2.457.000 unit, dan mengekspor 1.121.000 mobil.

Perkembangan Industri Otomotif Indonesia



Industri otomotif Indonesia mengalami pasang surut sejak dicanangkan pembangunannya empat puluh lima tahun lalu. Tahun 1969 disaat pasar masih 50.000 unit, dikeluarkan aturan bahwa Agen Pemegang Merk (APM) dilarang mengimpor mobil utuh (CBU) namun harus terurai, dan harus mengikuti Program Penanggalan Komponen. Dua puluh tahun kemudian Program disempurnakan oleh Sistem Insentif, yaitu produsen bisa memilih jenis produksi komponen, yang dikorelasikan dengan prosentasi bobot tertentu untuk mendapat potongan pajak bagi komponen kendaraan sisa yang di impor. Sayangnya Sistem ini serta Program Mobnas terpaksa  dicabut tahun 1999 sebagai pelaksanaan putusan Panel WTO, atas protes Jepang, Amerika dan Eropa. Impor kendaraan selanjutnya diatur dengan mekanisme Bea Masuk (BM) dan Pajak Barang Mewah (PPn-BM). CBU pun bisa diimpor kembali. Krisis tahun 1998 menciutkan pasar mobil dari 392.000 tinggal 58.000 unit, termasuk kepemilikan saham warga Indonesia di pabrik perakitan, dimana kepemilikannya sudah jauh berkurang dari sebelumnya.
Menyadari besarnya pasar dan potensi kedepan terkait demografi penduduk, hampir seluruh  produsen otomotif dunia membangun fasilitas produksi terutama produsen Jepang. Merek2 yang memiliki fasilitas produksi di Indonesia adalah Daihatsu, Toyota, Nissan, Honda, Suzuki, Hino, Isuzu, Mitsubishi Motors, Mitsubishi Fuso, Mercedes Benz. Sementara untuk sepeda motor produsen yang memiliki fasilitas produksi adalah : Honda, Suzuki, Yamaha, Kawasaki, TVS dan beberapa merek lokal seperti Viar, Nozomi, Kaisar. 

Paket Pengembangan LCGC (Low Cost Green Car) tahun 2013, yang dimaksudkan mempercepat pendalaman pembuatan komponen, merupakan kebijakan terakhir yang digulirkan pemerintah. Tahun 2015 telah diproduksi sejumlah 165.000 unit. Saat ini  kapasitas terpasang perakitan mencapai 1.930.000 unit, menyerap 32.000 tenaga kerja, diluar industri komponen. Jumlah supplier pendukung otomotif menurut data GIAMM berjumlah 222 buah, dan terdapat sekitar 1550 perusahaan komponen sampai dengan tingkat Pemasok Lini ke-3. Sementara pasar terus berkembang, tahun 2015 mencatat penjualan 1,03 juta unit, yang menempatkan Indonesia sebagai peringkat ke-17 dunia.
Saat ini konsep pengembangan jenis kendaraan di tanah air masih fokus pada kendaraan penumpang berbasis kendaraan niaga dan MPV. Sayangnya jenis kendaraan ini di dunia hanya terjual sekitar 3 persen dari seluruh penjualan produk otomotif, karena pasar dunia 90 persen adalah sedan. Hal ini menyebabkan Karakter mobil Indonesia tak mudah diekspor, karena hanya cocok untuk pasar  negara berkembang. 
Perkembangan industri otomotif saat ini dibayangi oleh awan mendung, karena disaat kapasitas sudah hampir mencapai dua juta unit, dihadapi kenyataan bahwa 2 tahun ini pasar cenderung stagnasi di 1 juta unit, dengan perkiraan pemulihan lambat. Ini adalah tantangan lainnya bagi industri untuk menemukan jalan keluar agar mampu bertahan disaat yang sulit dan siap berlari manakala pasar sudah kembali pada kinerjanya semula.

Perkembangan Industri Manufaktur



Pada 10 tahun terakhir ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan tertinggi di tahun 2011 yaitu mencapai 6,2% dimana juga dinikmati industri manufaktur sebesar 6,7%. Pertumbuhan setelah itu menurun hanya mencapai 4,79% dan industri 5,04% pada 2015. Rata-rata dalam 10 tahun tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,7% dan industri 5%. Rendahnya pertumbuhan industri menurunkan peran industri manufaktur terhadap PDB yang pada tahun 2009 pernah mencapai 29% dan kini tinggal 22%.
Ekspor produk manufaktur pada periode yang sama ternyata juga semakin menurun, di sisi lain impor terus meningkat walaupun pemerintah menganggap impor barang modal dan bahan baku/komponen memperkuat kapasitas nasional dengan mengenyampingkan faktor external balance. Defisit neraca perdagangan industri manufaktur mencapai puncaknya sebesar USD 23 Milyar pada 2012, walau berkurang menjadi USD 6,4 Milyar pada 2014 karena turunnya impor. Pelemahan industri manufaktur yang telah menahun perlu disikapi secara serius. Studi McKinsey (2012) mengungkapkan bahwa untuk mencegah fenomena Middle-Income Trap, peran sektor manufaktur suatu negara terhadap perekonomiannya harus mencapai sekitar 40%. Karena sektor ini adalah penggerak peningkatan nilai tambah, teknologi serta penciptaan lapangan kerja yang mampu membawa suatu negara ke jenjang tingkat perekonomian dan tingkat kemakmuran yang lebih tinggi. Atas hal ini Persatuan Insinyur Indonesia merasa terpanggil untuk turut serta memikirkan langkah-langkah yang bisa disumbangkan untuk memperkuat sektor ini. 
Turunnya peran sektor industri tidak terlepas dari melemahnya faktor pendukung daya saing industri secara nasional. Meskipun daya saing Indonesia menurut Global Competitiveness Index terakhir naik ke peringkat 34, namun  dari 13 faktor yang diukur, terdapat 4 faktor yang mengalami penurunan, dan yang paling mencemaskan adalah faktor Labor Market Efficiency. Faktor ini 5 tahun lalu menduduki posisi 43 ternyata menjadi posisi 110 pada 2014, terbawah dibanding negara ASEAN lainnya. Yang paling terkena dampaknya adalah industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki. Investasi industri padat karya terus turun yang ditandai semakin berkurangnya pemain serta stagnannya ekspor tekstil Indonesia yang tahun 2014 hanya mampu mencapai USD 12,7 Milyar jauh dibawah Bangladesh USD 21,5 Milyar dan Vietnam USD 24,5 Milyar. Lemahnya daya saing Indonesia tidak terlepas dari masih rendahnya penguasaan teknologi. Statistik produksi, menurut pengelompokan OECD, menunjukan 66% teknologi dalam produksi di industri merupakan teknologi rendah dan menengah-rendah.
Berbagai faktor yang diuraikan menjadi beban bagi industri, terlebih lagi disertai kenaikan upah yang tidak bisa diprediksi, kenaikan tarif listrik, keterbatasan pasokan gas, penguatan kurs dolar, tingginya impor bahan baku dan komponen, semuanya mengerek biaya produksi dan berdampak pada penurunan daya saing.
Kondisi ekonomi dunia belakangan ini juga kurang bersahabat bagi perkembangan industri manufaktur Indonesia khususnya melemahnya pertumbuhan ekonomi pasar utama ekspor Indonesia, terjadinya gejolak politik di beberapa belahan dunia, serta derasnya arus liberalisasi perdagangan di dunia. Pasar negara berkembang saat ini dipaksa untuk terbuka walau negara maju masih protektif, khususnya untuk produk pertanian. Keterbukaan pasar Indonesia menjadi salah satu keluhan calon investor yang membutuhkan perlindungan pada awal investasi.
Besarnya jumlah penduduk Indonesia adalah pasar potensial bagi berkembangnya industri manufaktur. Namun masyarakat Indonesia belum cukup menghargai dan merasa bangga akan produk buatan bangsanya. Potensi besar ini masih belum bisa didayagunakan sepenuhnya sebagai faktor pendorong pertumbuhan industri. Adalah sangat sulit menjual produk-produk buatan dalam negeri ke luar negeri terutama barang modal jika bangsa kita sendiri tidak mau menggunakannya. Besarnya pasar dalam negeri bahkan kurang efektif karena banyaknya barang yang diduga diselundupkan.
Saat ini revolusi industri baru telah terjadi dimana wajah persaingan industri global ditentukan oleh faktor kemajuan teknologi dan inovasi sebagai penentu daya saing. Pergeseran ke arah product customization, intelligent product design, nano technology, composite, dan biological materials, aplikasi teknologi komunikasi dan informasi terbaru pada desain produk industri. Revolusi memperlebar jarak industri Indonesia terhadap negara industri.
Untuk memperkuat struktur dalam tahap pertama harus didorong industri yang mengakar di dalam negeri, berperan besar dalam perekonomian dan penyediaan lapangan kerja, dan mampu mengurangi ketergantungan impor. Dari sisi produk perlu secara ofensif didorong ekspor produk TPT, alas kaki, furnitur, industri makanan, produk agro, CPO dan turunannya, serta produk otomotif dan komponen. Sedangkan yang perlu dipertahankan pasar dalam negerinya meliputi industri kimia, baja, elektronika, agro, makanan dan minuman tertentu, dan farmasi. Tahap selanjutnya perlu ditumbuhkan industri berbasis inovasi seperti pemanfaatan rare earth, kesehatan, material baru, dan energi terbarukan. Sebagai wahana pelaksanaannya, Technopreneurship, sistem insentif, dan spirit Indonesianisme perlu ditumbuhkan.
Industri Otomotif yang sudah berdiri lebih dari 40 tahun di negeri ini perlu didorong sebagai salah satu tiang penunjang perkembangan industri manufaktur. PII dapat berperan banyak dalam pengembangan kemampuan teknologi dan sumber daya tenaga kerja industrial, terutama dalam membangun kemampuan dan penguasaan teknologi serta R&D industri, meningkatkan produktivitas dan kompetensi tenaga kerja industrial.